Mengenal senjata khas Madura (Clurit)

Celurit
memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Madura, Jawa
Timur. Senjata tajam yang berbentuk melengkung ini begitu melegenda. Sejak
dahulu kala hingga sekarang, hampir setiap orang di Tanah Air mengenal senjata
khas etnis Madura ini. Saking populernya, celurit kerap diidentikkan dengan
berbagai tindak kriminal. Bahkan celurit juga digunakan oleh massa saat terjadi
kerusuhan maupun demonstrasi di pelosok Nusantara untuk menakuti lawannya.
Boleh jadi,
begitu mendengar kata Madura, dalam benak sebagian orang bakal terbayang alam
yang tandus, wajah yang keras dan perilaku menakutkan. Kesan itu seolah menjadi
benar tatkala muncul kasus-kasus kekerasan yang menggunakan celurit dengan
pelaku utamanya orang Madura.
Kendati
demikian tak semua orang mengetahui sejarah dan proses sebuah celurit itu
dibuat hingga dikenal luas. Di tempat asalnya, celurit pada mulanya hanyalah
sebuah arit. Petani pun kerap menggunakan arit untuk menyabit rumput di ladang
dan membuat pagar rumah. Dalam perkembangannya, arit itu diubah menjadi alat
beladiri yang digunakan oleh rakyat jelata ketika menghadapi musuh.
Demikian pula pendapat D. Zawawi Imron. Seniman sekaligus budayawan Madura ini
menuturkan, kalangan rakyat kecil memperlakukan celurit sebagai senjata tajam
biasa. Dengan kata lain, celurit itu bukan dianggap senjata sakti.
Kini, masyarakat Madura masih memandang celurit sebagai senjata yang tak
terlepas dari kehidupan sehari-hari. Tak mengherankan, bila pusat kerajinan
senjata tajam itu banyak bertebaran di Pulau Madura.
Tersebutlah sebuah desa kecil bernama Peterongan. Kampung ini terletak di
Kecamatan Galis, sekitar 40 kilometer dari Kabupaten Bangkalan. Di sana,
sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya sebagai pandai besi pembuat
arit dan celurit. Keahlian mereka adalah warisan leluhur sejak ratusan tahun
lampau.
Tak salah memang, bila desa ini menjadi kondang. Maklum, celurit buatan para
perajin di Desa Peterongan itu dikenal kokoh dan halus pengerjaannya. Seorang
di antara mereka adalah Salamun. Siang itu, lelaki berusia 54 tahun ini menemui
Sunarto utusan dari sebuah padepokan silat terkenal di Kecamatan Kamal,
Bangkalan.
Sunarto pun meminta Salamun mengerjakan sebilah celurit berjenis bulu ayam.
Bagi Salamun, membuat celurit adalah bagian dari napas kehidupannya. Celurit
tak hanya sekadar dimaknai sebagai benda tajam yang digunakan untuk melukai
orang. Akan tetapi celurit adalah karya seni yang mesti dipertahankan dari
warisan leluhurnya.
Pagi itu, Salamun didampingi putranya berbelanja membeli besi tua yang berada
di sudut Desa Peterongan. Di antara tumpukan besi itu, Salamun memilih besi
bekas rel kereta api dan per bekas jip sebagai bahan baku membuat celurit
pesanan Sunarto.
Besi pilihan itu lantas dibawa menuju bengkel pandai besi miliknya yang berada
tak jauh dari halaman rumahnya. Batangan besi tersebut kemudian dibelah dengan
ditempa berkali-kali untuk mendapatkan lempengannya. Setelah memperoleh
lempengan yang diinginkan, besi pipih itu lantas dipanaskan hingga mencapai
titik derajat tertentu.
Logam yang telah membara itu lalu ditempa berulang kali sampai membentuk
lengkungan celurit yang diinginkan. Dengan dibantu ketiga anaknya, Salamun
membuat celurit pesanan padepokan silat tersebut dengan penuh ketelitian. Sebab
dia memandang celurit harus mencirikan sebuah karya seni. Tak sekadar sepotong
besi yang ditempa berkali kali, melainkan harus memiliki arti dan makna bagi
yang memilikinya.
Lantaran itulah, sebelum mengerjakan sebilah celurit, Salamun biasa berpuasa
terlebih dahulu. Bahkan saban tahun, tepatnya pada bulan Maulid, Salamun
melakukan ritual kecil di bengkelnya. Menurut Salamun, ritual ini disertai
sesajen berupa ayam panggang, nasi dan air bunga. Sesajen itu kemudian didoakan
di musala. Baru setelah itu, air bunga disiramkan ke bantalan tempat menempa
besi. "Kalau ada yang melanggar (mengganggu), ia akan mendapatkan
musibah sakit-sakitan,” ucap Salamun.
Hingga kini, tombuk atau bantalan menempa besi pantang dilangkahi terlebih diduduki oleh orang.
Keahlian pak Salamun membuat celurit tak bisa dilepaskan dari warisan orang tua
dan leluhur kakeknya. Semenjak kecil dirinya sudah dilibatkan cara membuat
celurit yang benar.
Salamun mengungkapkan, buat mengerjakan sebuah celurit besar, dibutuhkan waktu
sekitar dua hingga empat hari. Adapun harga celurit tergantung dari bahan dan
ukuran motifnya. Celurit paling murah dilepas seharga Rp 100.000.
Pria itu termasuk produktif. Betapa tidak, sudah ribuan celurit yang dihasilkan
dari tempaan Salamun. Namun kini, Salamun lebih berhati-hati menerima pesanan
celurit. Dia beralasan, banyak orang yang tak memahami filosofi celurit.
Minimnya pemahaman inilah yang mengakibatkan celurit lebih banyak digunakan
untuk tindak kejahatan.
Sebaliknya, bagi yang mengerti, celurit itu tentunya digunakan lebih
berhati-hati. Pendapat itu memang beralasan. Soalnya celurit juga diartikan
sebagai lambang ksatria. Dan, bukan malah untuk sembarang menyabet orang.
Di Madura, banyak dijumpai perguruan pencak silat yang mengajarkan cara
menggunakan celurit. Satu di antaranya Padepokan Pencak Silat Joko Tole,
pimpinan Suhaimi Salam. Perguruan ini mengambil nama dari seorang ksatria asal
Sumenep. Kala itu Madura dibagi menjadi dua wilayah kerajaan besar, yaitu
Madura Timur di Sumenep dan Madura Barat di Arosbaya Bangkalan. Adapun
peninggalan Kerajaan Madura Barat masih terlihat dalam situs makam-makam kuno
di Arosbaya.
Dan hari ini, perguruan yang banyak mengorbitkan atlet pencak silat nasional
itu secara rutin berlatih meneruskan cita-cita dan semangat leluhurnya, Joko
Tole. Padepokan Silat Joko Tole selama ini cukup kesohor di kalangan pencak
silat di Tanah Air. Terutama dalam mengajarkan penggunaan senjata tradisional
celurit.
Walaupun hanya sebuah benda mati, celurit memiliki beragam cara penggunaannya.
Ini tergantung dari niat pemakainya. Di Perguruan Joko Tole, misalnya. Celurit
tidak sekadar diajarkan untuk melumpuhkan lawan. Namun seorang pemain silat
harus memiliki batin yang bersih dengan berlandaskan agama.
Sebagian masyarakat menganggap celurit tak bisa dipisahkan dari tradisi carok yang dianut oleh sebagian orang
Madura. Sayang, hingga kini, belum satu pun peneliti yang bisa menjelaskan awal
mula carok menjadi bagian hidup orang Madura. Yang terang, pada dasarnya carok
biasa dilakukan ketika seseorang merasa dipermalukan dan harga dirinya
dilecehkan. Maka, penyelesaian yang terhormat adalah dengan berduel secara
ksatria satu lawan satu.
Latar belakang perkelahian seperti itu diakui Zawawi Imron. Budayawan ini
menerangkan, ada adigium Madura yang mengatakan: Dibandingkan dengan putih mata
lebih bagus putih tulang. Artinya, daripada hidup malu lebih baik mati. Dengan
kata lain, ketika orang Madura dipermalukan, maka ia berbuat pembalasan dengan
melakukan carok terhadap yang menghinanya itu.
Namun dalam perkembangannya, arti carok sendiri menjadi tidak jelas. Terutama
bila dihubungkan dengannyelep, yakni menyerang musuh dari belakang atau
ketika lawan sedang lengah. Dan, hal itu semakin tidak jelas manakala banyak
kasus kekerasan yang bermotifkan sosial ekonomi.
Jadi, untuk mengubah stereotip itu, orang Madura harus melawan kebodohan dan
ketertinggalan. Ini seperti kerinduan budayawan sekaligus penyair Madura Zawawi
Imron dalam puisi berjudul Celurit Emas:Bila musim melabuh hujan tak turun, kubasahi kau dengan denyutku. Bila
dadamu kerontang, kubajak kau dengan tanduk logamku. Di atas bukit garam
kunyalakan otakku. Lantaran aku tahu, akulah anak sulung yang sekaligus anak
bungsumu. Aku berani mengejar ombak. Aku terbang memeluk bulan. Dan memetik bintang
gemintang di ranting-ranting roh nenek moyangku. Di bubung langit kuucapkan
sumpah. Madura,