Selasa, 25 Maret 2014

RINDUMU DI UJUNG TOMBAK



Pernah kudengar jerit tangismu
Pernah kudengar rintih kesakitanmu

Dan

Kudengar pula tawa indahmu yang mewarnai hariku

Kupandang dirimu walau terasa jenuh
Kubayangkan dirimu dalam lamunanku
Tapi, tak sempat kuusap air matamu  yang menemani rindumu

Semakin hari berlalu
Semakin keras jerit tangismu
Semakin dalam rintihan kesakitanmu

Dan

Semakin indah pula tawa yang selalu menutupi kelemahanmu
Hingga akhirnya kau tergeletak
Jatuh sakit diantar bapak
Hingga akhirnya jantungmu tak berdetak
Nafasmupun tak lagi nampak
Yang ada hanya ragamu
Jiwamu tlah pergi
Jauh menelusup langit memecah bumi
Melahirkan sebuah kenangan yang abadi
Meninggalkan rindumu di ujung tombak yang tak berbelati


Adi Rahman Alfiyansyah
Untuk

Adikku tercinta yang sudah tenang di Syurga

Selasa, 18 Februari 2014

Hati

Membicarakan bahasa hati
Yang tiada henti selalu menanti
Menanti,menanti dan menanti cinta sejati
Yang terkadang menemukan cinta yang tak pasti
Dilema cinta pernah kualami
Sampai saat ini, detik ini
Kurasakan ketidak selarasan antara hati dengan otakku
Di hatiku ada dia
Tapi di otakku ada dia
Apa yang terjadi
Perasaan ini sungguh membuat ku tak kuasa menahan diri
Ingin ku ungkapkan namun takut ku menjadi sebuah tragedi

Yang amat pedih menyayat hati

Senin, 10 Februari 2014

Perjalanan Menuju Roma

Dikala senja dibatas kota ini
Terdengar riuh penumpang
Dan gemuruh suara kenalpot tua dari besi-besi tua
Yang membawa beberapa penumpang melintasi kota

Senja itu berlalu dengan seketika
Tak sempat ku ucapkan salam cinta kepadanya
Karena begitu cepat perhentian besi tua di stasiun yang pertama
Dalam hati penuh tanya
Dalam luka penuh nanah
Dalam jiwa membara hati ingin segera berjumpa disana
Diperhentian besi tua yang berikutnya

Tanpa kabar
Tanpa berita
Entah dimana kini kau berada
Semoga naafas cinta kita kan membawamu
Kembali padaku
Walau aku berada jauh di depanmu
Tapi aku takkan dauh dari hatimu
Oh... besi tua yang amat gila
Mengantarkanku pada seribu tanya
Dimana dia berada

Selasa, 28 Januari 2014

Madura dan Budaya


Karapan Sapi, Tradisi Madura Asli

Karapan sapi, saat mendengar kata-kata itu pasti yang terlintas dalam pikiran kita adalah Pulau Madura. Memang Karapan Sapi adalah tradisi yang sangat lekat dengan Madura. Inilah kekayaan dan keunikan budaya yang hanya terdapat di Madura. Anda tidak akan dapat menemukan tradisi Karapan Sapi di manapun selain di Madura. Madura memang kaya akan budaya dan tradisi serta kearifan lokal. Karapan sapi adalah aset bangsa yang harus dijaga kelestariannya di Bumi Pertiwi. Sekali lagi tradisi Karapan Sapi adalah tradisi asli Madura.


Sebelum membahas lebih jauh tentang tradisi dan kebudayaan daerah khas madura, alangkah lebih baiknya jika kita terlebih dahulu mengetahui bagaimana kehidupan sehari-hari, watak serta perilaku masyarakat Madura. Madura oleh suku bangsa lain dikenal sebagai suku bangsa yang berwatak keras, kasar, panas dan sebagainya. Sebenarnya Madura tidaklah demikian. Marilah kita meluruskan persepsi tersebut. Madura memiliki adat budaya yang kental dengan nuansa keagamaan dan memiliki tata krama yang tinggi. Ada banyak sekali pondok pesantren ternama dan ada banyak sekali tokoh negeri yang lahir di Madura. Suku Madura juga dikenal sebagai pekerja keras yang pantang menyerah. Nilai-nilai luhur dan nilai-nilai budaya dijaga dengan kuat oleh masyarakat Madura. Jika Anda bersikap sopan, Anda tidak akan diperlakukan kasar bahkan justru sebaliknya Anda akan diperlakukan bagai raja. Bagi masyarakat madura "Tamu adalah Raja". Silakan berkunjung ke Madura dan buktikan sendiri bahwa masyarakat Madura adalah Masyarakat yang ramah.


Madura kaya akan budaya daerah dan memiliki prinsip yang kuat untuk mempertahankan dan menjaganya. Salah satu budaya yang paling terkenal adalah Karapan Sapi. Karapan Sapi adalah perlombaan adu cepat di lintasan lurus dengan menggunakan sapi sebagai objek utamanya. seperti layaknya balapan motoGP, Karapan Sapi memiliki tim khusus yang mempunyai tugas masing-masing untuk mempersiapkan sapi agar beraksi dengan performa terbaik. Jauh sebelum perlombaan, Sapi-sapi tersebut diperlakukan secara istimewa, diberi asupan makanan yang pas, diberi jamu dan telur ayam kampung secara rutin, bahkan dipijat secara rutin. Memang butuh biaya yang besar untuk merawat sapi karapan tersebut, bahkan ada yang mengatakan bahwa memelihara sapi kerap lebih banyak membutuhkan biaya daripada memiliki mobil Sedan. Hal tersebut mungkin saja benar mengingat bagaimana tingkat perhatian dan perlakuan khusus terhadap sapi sapi kerap.

Dalam Karapan Sapi, sapi yang dilombakan tidak hanya satu namun sepasang sapi. Lalu bagaimana caranya agar kedua sapi tersebut dapat disatukan saat lomba? ada kayu khusus yang digunakan untuk menyatukan kedua sapi kerap tersebut. Nama kayu itu adalah "Kaleles" yang berguna untuk mengikat antar sapi kanan dan sapi. Selain itu Kaleles berguna sebagai tempat untuk mengendarai dan mengendalikan kedua sapi kerap. sapi-sapi tersebut adalah sapi asli Madura yang memang memiliki bentuk yang khas dan pas untuk dilombakan. konon katanya sapi madura memang hewan ternak asli Madura yang digunakan untuk membantu petani bercocok tanam serta mengolah sawah dan ladang. Karapan sendiri berasal dari bahasa Madura yaitu kata "Kerrap" yang berarti berpacu atau berlomba menjadi yang tercepat dan terbaik. Inilah filosofi hidup yang melambangkan bahwa masyarakat madura adalah pekerja keras yang mudah menyerah serta berlomba lomba untuk menjadi yang terbaik.


Sebelum perlombaan Karapan sapi dimulai, Anda akan disuguhi berbagai macam seni budaya khas Madura yang memang dipersiapkan untuk menghibur penonton. pertunjukan seni budaya tersebut antara lain tarian khas Madura yang diiringi dengan musik tradisional Madura yang disebut dengan saronen. Saronen adalah musik gamelan namun tidak seperti gamelan di Jawa pada umumnya, gamelan yang disebut saronen ini sangat berirama khas Madura. Sapi sapi kerap akan dibawa berjalan menjelajahi arena pertandingan sebelum bertanding dengan diiringi musik Saronen dan tarian khas Madura. Grup Saronen disewa oleh pemilik sapi kerap untuk menambah semangat tim Karapan Sapi. Jadi jelas tidak hanya ada satu atau dua grup kesenian saja. Bisakah Anda membayangkan lapangan stadion yang dipenuhi budaya daerah? Anda akan menemukannya pada pertandingan Karapan Sapi di Madura.

Pada saat perlombaan, aktor yang bertugas mengendarai Kaleles disebut Joki, tugasnya adalah mengendalikan kecepatan dan arah sapi. Tidaklah mudah mengendalikan dua ekor sapi yang melaju dengan kecepatan yang sangat tinggi.  Butuh nyali yang besar dan keahlian khusus untuk dapat menjalankan aksi sebagai Joki yang handal. Anggota tim yang lain bekerja sesuai dengan pembagian kerjanya masing-masing. Ada yang bertugas menahan tali kekang sapi, menangkap sapi, bahkan ada yang berteriak-teriak layaknya supporter untuk menyemangati sapi kerap. Disinilah kekompakan tim sangat mutlak diperlukan agar sapi kerap dapat keluar sebagai juara.

Menonton Karapan Sapi adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Madura. Suasana seru dan menegangkan akan Anda rasakan saat melihat perlombaan Karapan Sapi. Jika Anda hanya melihat dari layar TV atau dari Youtube dan semacamnya pasti tidak akan merasakan kesan seru dan suasana menegangkan seperti halnya melihat Karapan Sapi secara langsung. Setiap tahunnya banyak turis berkunjung ke Madura untuk melihat secara langsung jalannya perlombaan Karapan Sapi. Tak hanya turis lokal saja yang datang berkunjung tetapi juga banyak sekali turis manca negara yang hadir mewarnai arena perlombaan Karapan Sapi. Karapan Sapi jauh lebih seru dan jauh lebih menegangkan daripada budaya adu banteng dan Matador dari Spanyol.

Karapan sapi biasanya diadakan setiap tahun di Madura sebagai ungkapan rasa gembira masyarakat Madura saat menjelang musim panen tembakau. Masing-masing kabupaten akan menggelar perlombaan Karapan Sapi lalu kemudian partai final biasanya diselenggarakan di kabupaten Pamekasan. Oleh masyarakat Pamekasan, partai final ini disebut dengan istilah "Gubeng". Penonton akan berdatangan dari berbagai daerah untuk menjadi menyaksikan ajang Karapan Sapi dengan wajah antusias. Semoga dengan artikel ini Anda dapat tertarik untuk mengunjungi Madura dan menyaksikan secara langsung ajang Karapan Sapi. 
Mengenal senjata khas Madura (Clurit)










Celurit memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Madura, Jawa Timur. Senjata tajam yang berbentuk melengkung ini begitu melegenda. Sejak dahulu kala hingga sekarang, hampir setiap orang di Tanah Air mengenal senjata khas etnis Madura ini. Saking populernya, celurit kerap diidentikkan dengan berbagai tindak kriminal. Bahkan celurit juga digunakan oleh massa saat terjadi kerusuhan maupun demonstrasi di pelosok Nusantara untuk menakuti lawannya.
 
Boleh jadi, begitu mendengar kata Madura, dalam benak sebagian orang bakal terbayang alam yang tandus, wajah yang keras dan perilaku menakutkan. Kesan itu seolah menjadi benar tatkala muncul kasus-kasus kekerasan yang menggunakan celurit dengan pelaku utamanya orang Madura.
Kendati demikian tak semua orang mengetahui sejarah dan proses sebuah celurit itu dibuat hingga dikenal luas. Di tempat asalnya, celurit pada mulanya hanyalah sebuah arit. Petani pun kerap menggunakan arit untuk menyabit rumput di ladang dan membuat pagar rumah. Dalam perkembangannya, arit itu diubah menjadi alat beladiri yang digunakan oleh rakyat jelata ketika menghadapi musuh.
Demikian pula pendapat D. Zawawi Imron. Seniman sekaligus budayawan Madura ini menuturkan, kalangan rakyat kecil memperlakukan celurit sebagai senjata tajam biasa. Dengan kata lain, celurit itu bukan dianggap senjata sakti.
Kini, masyarakat Madura masih memandang celurit sebagai senjata yang tak terlepas dari kehidupan sehari-hari. Tak mengherankan, bila pusat kerajinan senjata tajam itu banyak bertebaran di Pulau Madura.
Tersebutlah sebuah desa kecil bernama Peterongan. Kampung ini terletak di Kecamatan Galis, sekitar 40 kilometer dari Kabupaten Bangkalan. Di sana, sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya sebagai pandai besi pembuat arit dan celurit. Keahlian mereka adalah warisan leluhur sejak ratusan tahun lampau.
Tak salah memang, bila desa ini menjadi kondang. Maklum, celurit buatan para perajin di Desa Peterongan itu dikenal kokoh dan halus pengerjaannya. Seorang di antara mereka adalah Salamun. Siang itu, lelaki berusia 54 tahun ini menemui Sunarto utusan dari sebuah padepokan silat terkenal di Kecamatan Kamal, Bangkalan.
Sunarto pun meminta Salamun mengerjakan sebilah celurit berjenis bulu ayam. Bagi Salamun, membuat celurit adalah bagian dari napas kehidupannya. Celurit tak hanya sekadar dimaknai sebagai benda tajam yang digunakan untuk melukai orang. Akan tetapi celurit adalah karya seni yang mesti dipertahankan dari warisan leluhurnya.
Pagi itu, Salamun didampingi putranya berbelanja membeli besi tua yang berada di sudut Desa Peterongan. Di antara tumpukan besi itu, Salamun memilih besi bekas rel kereta api dan per bekas jip sebagai bahan baku membuat celurit pesanan Sunarto.
Besi pilihan itu lantas dibawa menuju bengkel pandai besi miliknya yang berada tak jauh dari halaman rumahnya. Batangan besi tersebut kemudian dibelah dengan ditempa berkali-kali untuk mendapatkan lempengannya. Setelah memperoleh lempengan yang diinginkan, besi pipih itu lantas dipanaskan hingga mencapai titik derajat tertentu.
Logam yang telah membara itu lalu ditempa berulang kali sampai membentuk lengkungan celurit yang diinginkan. Dengan dibantu ketiga anaknya, Salamun membuat celurit pesanan padepokan silat tersebut dengan penuh ketelitian. Sebab dia memandang celurit harus mencirikan sebuah karya seni. Tak sekadar sepotong besi yang ditempa berkali kali, melainkan harus memiliki arti dan makna bagi yang memilikinya.
Lantaran itulah, sebelum mengerjakan sebilah celurit, Salamun biasa berpuasa terlebih dahulu. Bahkan saban tahun, tepatnya pada bulan Maulid, Salamun melakukan ritual kecil di bengkelnya. Menurut Salamun, ritual ini disertai sesajen berupa ayam panggang, nasi dan air bunga. Sesajen itu kemudian didoakan di musala. Baru setelah itu, air bunga disiramkan ke bantalan tempat menempa besi. &quotKalau ada yang melanggar (mengganggu), ia akan mendapatkan musibah
 sakit-sakitan,” ucap Salamun.
Hingga kini,
 tombuk atau bantalan menempa besi pantang dilangkahi terlebih diduduki oleh orang. Keahlian pak Salamun membuat celurit tak bisa dilepaskan dari warisan orang tua dan leluhur kakeknya. Semenjak kecil dirinya sudah dilibatkan cara membuat celurit yang benar.
Salamun mengungkapkan, buat mengerjakan sebuah celurit besar, dibutuhkan waktu sekitar dua hingga empat hari. Adapun harga celurit tergantung dari bahan dan ukuran motifnya. Celurit paling murah dilepas seharga Rp 100.000.
Pria itu termasuk produktif. Betapa tidak, sudah ribuan celurit yang dihasilkan dari tempaan Salamun. Namun kini, Salamun lebih berhati-hati menerima pesanan celurit. Dia beralasan, banyak orang yang tak memahami filosofi celurit. Minimnya pemahaman inilah yang mengakibatkan celurit lebih banyak digunakan untuk tindak kejahatan.
Sebaliknya, bagi yang mengerti, celurit itu tentunya digunakan lebih berhati-hati. Pendapat itu memang beralasan. Soalnya celurit juga diartikan sebagai lambang ksatria. Dan, bukan malah untuk sembarang menyabet orang.
Di Madura, banyak dijumpai perguruan pencak silat yang mengajarkan cara menggunakan celurit. Satu di antaranya Padepokan Pencak Silat Joko Tole, pimpinan Suhaimi Salam. Perguruan ini mengambil nama dari seorang ksatria asal Sumenep. Kala itu Madura dibagi menjadi dua wilayah kerajaan besar, yaitu Madura Timur di Sumenep dan Madura Barat di Arosbaya Bangkalan. Adapun peninggalan Kerajaan Madura Barat masih terlihat dalam situs makam-makam kuno di Arosbaya.
Dan hari ini, perguruan yang banyak mengorbitkan atlet pencak silat nasional itu secara rutin berlatih meneruskan cita-cita dan semangat leluhurnya, Joko Tole. Padepokan Silat Joko Tole selama ini cukup kesohor di kalangan pencak silat di Tanah Air. Terutama dalam mengajarkan penggunaan senjata tradisional celurit.
Walaupun hanya sebuah benda mati, celurit memiliki beragam cara penggunaannya. Ini tergantung dari niat pemakainya. Di Perguruan Joko Tole, misalnya. Celurit tidak sekadar diajarkan untuk melumpuhkan lawan. Namun seorang pemain silat harus memiliki batin yang bersih dengan berlandaskan agama.
Sebagian masyarakat menganggap celurit tak bisa dipisahkan dari tradisi
 carok yang dianut oleh sebagian orang Madura. Sayang, hingga kini, belum satu pun peneliti yang bisa menjelaskan awal mula carok menjadi bagian hidup orang Madura. Yang terang, pada dasarnya carok biasa dilakukan ketika seseorang merasa dipermalukan dan harga dirinya dilecehkan. Maka, penyelesaian yang terhormat adalah dengan berduel secara ksatria satu lawan satu.
Latar belakang perkelahian seperti itu diakui Zawawi Imron. Budayawan ini menerangkan, ada adigium Madura yang mengatakan: Dibandingkan dengan putih mata lebih bagus putih tulang. Artinya, daripada hidup malu lebih baik mati. Dengan kata lain, ketika orang Madura dipermalukan, maka ia berbuat pembalasan dengan melakukan carok terhadap yang menghinanya itu.
Namun dalam perkembangannya, arti carok sendiri menjadi tidak jelas. Terutama bila dihubungkan dengannyelep, yakni menyerang musuh dari belakang atau ketika lawan sedang lengah. Dan, hal itu semakin tidak jelas manakala banyak kasus kekerasan yang bermotifkan sosial ekonomi.
Jadi, untuk mengubah stereotip itu, orang Madura harus melawan kebodohan dan ketertinggalan. Ini seperti kerinduan budayawan sekaligus penyair Madura Zawawi Imron dalam puisi berjudul
 Celurit Emas:Bila musim melabuh hujan tak turun, kubasahi kau dengan denyutku. Bila dadamu kerontang, kubajak kau dengan tanduk logamku. Di atas bukit garam kunyalakan otakku. Lantaran aku tahu, akulah anak sulung yang sekaligus anak bungsumu. Aku berani mengejar ombak. Aku terbang memeluk bulan. Dan memetik bintang gemintang di ranting-ranting roh nenek moyangku. Di bubung langit kuucapkan sumpah. Madura, 


BIOGRAFI PENDEK D. ZAWAWI IMRON 

D. Zawawi Imron lahir di desa Batang-batang 1 Januari 1945 di ujung timur pulau Madura, mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 1982.

Setelah tamat Sekolah Rakyat (SR, setara dengan sekolah dasar) dia melanjutkan pendidikannya di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Semenep. Kumpulan sajaknya Bulan Tertusuk Ilallang mengilhami Sutradara Garin Nugroho untuk membuat film layar perak Bulan Tertusuk Ilalang. Kumpulan sajaknya Nenek Moyangku Airmata terpilih sebagai buku puisi terbaik dengan mendapat hadiah Yayasan Buku Utama pada 1985.

Pada 1990 kumpulan sajak Celurit Emas dan Nenek Moyangku Airmata terpilih menjadi buku puisi di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juara pertama sayembara menulis puisi AN-teve dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-50 pada 1995. Buku puisinya yang lain adalah Berlayar di Pamor Badik (1994), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), Madura, Akulah Darahmu (1999), dan Kujilat Manis Empedu (2003). Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria.

Saat ini ia menjadi Anggota Dewan Pengasuh Pesantren Ilmu Giri (Yogyakarta). Zawawi banyak berceramah Agama sekaligus membacakan sajaknya, di Yogyakarta, ITS. Surakarta, UNHAS Makasar, IKIP Malang dan Balai Sidang Senayan Jakarta. Juara pertama menulis puisi di AN-teve. Pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunei Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunei Darussalam (Maret 2002).
Hingga kini, Zawawi Imron masih setia tinggal di Batang-batang, Madura, tanah kelahiran sekaligus sumber inspirasi bagi puisi-puisinya.
Penyair yang tidak tamat Sekolah Rakyat ini memenangkan hadiah utama penulisan puisi ANTV (1995).
Bersama Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, dan Ayu Utami, Zawawi pernah tampil dalam acara kesenian Winter Nachten di Belanda (2002).

Beberapa Karyanya:
• Semerbak Mayang (1977)
• Madura Akulah Lautmu (1978)
• Celurit Emas (1980)
• Bulan Tertusuk Ilalang (1982; yang mengilhami film Garin Nugroho berjudul sama)
• Nenek Moyangku Airmata (1985; mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K, 1985)
• Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996)
• Lautmu Tak Habis Gelombang (1996)
• Madura Akulah Darahmu (1999). 










Teluk
D Zawawi Imron
Kaubakar gema di jantung waktu
Bibir pantai yang letih nyanyi
Sembuh oleh laut yang berloncatan
Memburu takdirmu yang menderu
Dan teluk ini
Yang tak berpenghuni kecuali gundah dan lampu
Memberangkatkan dahaga berlayar
Berkendara seribu pencalang
Ke arah airmata menjelma harimau
Pohon-pohon nyiur pun yakin
Janjimu akan tersemai
Dan di barat piramid jiwa
Berkat lambaian akan tegak mahligai senja
Senyum pun kekal dalamnya


Jiwaku

MADURA AKULAH DARAHMU
Puisi D. Zawawi Imrom

di atasmu, bongkahan 
batu yang bisu
tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga 
doa
biar berguling diatas duri hati tak kan luka
meski mengeram di dalam nyeri 
cinta tak kan layu
dari aku
anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
bahwa aku sapi karapan
yang lahir dari senyum dan airmatamu

seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
sebasah madu hinggaplah
menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua

si sini
perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku

bila musim labuh hujan tak turun
kubasahi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi karapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu

aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku
di ubun langit kuucapkan sumpah
-madura, akulah darahmu.



PERPISAHAN
Detik demi detik telah berlalu
Tiadakah rasanya waktu berlalui
Entah berapa kali ainun berkedip
Memandang dunnia yang penuh fatamorgana

Sungguh perpisahan terpampang nyata
Kini, jalan kita telah berbeda
Namun, misi kita tetaplah sama
Meraih asa dan menggapai cita

Perpisahan bukanlah akhir dari segalanya
Perpisahan bak tali terputus
Tali itu mungkain kan tersambung lagi
Dipererat dengan tali silaturahmi

Duhai kawan, janganlah ainun berbinar
Ku tak ingin butiran air mata
Jatuh tak berguna
Kuharap, kerupawananmu selalu berhiaskan senyuman

Wahai kawanyakin dan percayalah
Allah selalu mengasihi kita
Jikalau di dunia kita tak berjumpa
Surga-Nya lah tempat pelepas rindu kita
                                                                            

Oleh  Santya Dya Famelia

RINDU
Oleh : Adi Rahman Alfiyansyah

Menari
Bernyanyi
Berdendang
Memetik gitar di bawah sinar rembulan malam
Diantara hiruk pikuk kota tua yang mulai rapuh
Yang mulai hancur ditelan badai
Ditelan zaman
Terhapuskan oleh waktu
Ku coba warnai malam dengan dentingan senar gitarku
Yang mengalun merdu
Memecah rindu menghadirkan sahdu
Pada malam – malam yang tlah lalu
Bersama alunan lagu yang menyentuh kalbu






RINDU
Oleh : Adi Rahman Alfiyansyah

Menari
Bernyanyi
Berdendang
Memetik gitar di bawah sinar rembulan malam
Diantara hiruk pikuk kota tua yang mulai rapuh
Yang mulai hancur ditelan badai
Ditelan zaman
Terhapuskan oleh waktu
Ku coba warnai malam dengan dentingan senar gitarku
Yang mengalun merdu
Memecah rindu menghadirkan sahdu
Pada malam – malam yang tlah lalu
Bersama alunan lagu yang menyentuh kalbu





KEPADA SIAPA KU BERTANYA
Oleh :        Adi Rahman Alfiyansyah

Dingin yang menusuk hati
Menerpa semerbak harum bunga melati
Sepi antara sepi aku berdiri
Pada siapa aku harus berlari
Siapa yang bisa tenangkan hati ini
Kuterdiam dan terus bertanya
Daunpun tak terlewatkan olehku
Bintang malampun ikut meredup karenaku
Menangis dalam kegelapan malam
Yang gelap menutupi mata hatiku
Angin malam, hanya padamu kugantungkan tanyaku
Semoga aku mendapatkan jawabanku
Yang terbang dari seberang
Yang datang dalam kegelapan malam
Darinya

Angin malam yang menemaniku pada malam itu

Senin, 27 Januari 2014

MADURA


Kadipaten Sumenep (Atau sering dikenal sebagai Kadipaten Madura), adalah sebuah monarki yang pernah menguasai seluruh Pulau Madura dan sebagian daerah tapal kuda. Pusat pemerintahannya berada di Kota Sumenep sekarang.
Pada tahun 1269, dimasa pemerintahan Arya Wiraraja wilayah ini berada dibawah pengawasan langsung Kerajaan Singhasari dan Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1559, dimasa pemerintahan Kanjeng Tumenggung Ario Kanduruwan, wilayah yang terletak di Madura Timur ini berada pada kekuasaan penuh Kesultanan Demak dan baru pada pemerintahan Pangeran Lor II yang berkuasa pada tahun 1574, wilayah Kadipaten Sumenep berada dibawah pengawasan langsung Kasultanan Mataram.
Pada tahun 1705, akibat perjanjian Pangeran Puger dengan VOC, wilayah ini berada dalam kekuasaan penuh Pemerintahan Kolonial. Selama Sumenep jatuh kedalam wilayah pemerintahan Hindia-Belanda, wilayah ini tidak pernah diperintah secara langsung, para penguasa Sumenep diberi kebebasan dalam memerintah wilayahnya namun tetap dalam ikatan-ikatan kontrak yang telah ditetapkan oleh Kolonial Kala itu. Selanjutnya pada tahun 1883, Pemerintah Hindia Belanda mulai menghapus sistem sebelumnya (keswaprajaan), Kerajaan-kerajaan di Madura termasuk di Sumenep dikelola langsung oleh Nederland Indische Regening dengan diangkatnya seorang Bupati. Semenjak itulah, sistem pemerintahan Ke-adipatian di Sumenep berakhir.
Peninggalan Kadipaten Sumenep yang terkenal dan masih dapat disaksikan sampai saat ini antara lain Keraton Sumenep, Masjid Jamik Sumenep dan Asta Tinggi yang berada di pusat Kota Sumenep.
Seperti halnya keraton-keraton di Jawa, budaya halus dan tata krama yang sopan serta bahasa sehari-hari yang santun juga menjadi identitas budaya, baik di seputar lingkungan Keraton Sumenep maupun di lingkungan masyarakat Sumenep pada umumnya. Walaupun Keraton Sumenep saat ini sudah tidak berfungsi lagi sebagai istana resmi Adipati Sumenep ataupun pusat pengembangan budaya Madura, tetapi kebiasaan peninggalan masa kejayaan Kadipaten Sumenep masih sangat terasa, tak heran jika banyak orang menjuluki Sumenep sebagai 'Solo of Madura'.

SURAT RINDU UNTUK SAHABATKU ( T_Jey )
Oleh : Adi Rahman Alfiyansyah

 Kawan
Tinggal beberapa bulan lagi kau akan pergi
Pergi tinggalkan pulau garam ini
Pergi tinggalkan aku sendiri

Kawan
Apakah kepergianmu akan menghentikan langkahku
Untuk lebih dekat lagi dengan Sang Ilahi Rabbi
Apakah langkahku akan terhenti dengan kepergianmu
Akankah semua mimpiku akan musnah tanpa kau disampingku

Kawan
Jikalau kau telah sampai di Al-Amin nanti
Jangan lupa beri aku kabar tentangmu disana nanti
Jangan lupakan aku disini
Yang menani kehadiranmu bersama sejuta mimpi
Sejuta harapan
Dan sejuta janji yang kau berikan

Suatu hari nanti
Jika kau merindukanku pulanglah kembali
Kan kita lewati malam – malam seperti dahulu
Dipinggir pantai
Dibawah sinar rembulan malam
Ditemani dengan petikan senar gitarku yang merdu menyentuh kalbu

Kawan
Sampai bertemu lagi
Aku masih tetap menanti dengan sejuta mimpi dan harapan yang pasti
Aku merindukanmu 

PUISI HATI

KHARISMA AYU NABILA. alm.















ADIK KU
By : Adi Rahman Alfiyansyah

Detak, derai air mata menjadi lautan rindumu
Jiwa yang gelisah menentukan jawaban
Terpapar dimataku
Adakah hari esok untukku berjumpa denganmu
Dengan nafas yang terhenga – henga kau panggil namaku
Oh...Tuhan...
Oh...malam...
Jangan kau ambil nyawa adikku
Karena aku belum bertemu dengannya
Karena aku sangat merindukannya
Seribu jiwa
seribu pelita
dan beribu – ribu cahaya ku terbangkan untuk menerangkan hatimu
yang gelisah dalam gelap malam menanti kehadiranku
oooo...malam yang kelam tidurkanlah ia lelapkanlah ia
 agar esok tenang dalam damai menyambut kehadiranku
yang ia rindukan di hatinya setelah lama aku menghilang dari sisinya
tenang, tenanglah hari masih panjang
masih ada Tuhan yang akan memberikan tiupan  nafas kehidupan
yang bilamana engkau ikhlaskan pada-Nya akan ditabahkan hatimu
dari seribu cobaan
tenanglah Tuhan selalu mendengar rintihan hatimu
yang gelisah ingin segera bertemu

Ponorogo,  9 Desember 2013-12-09.
02.11